Pada suatu ketika, hiduplah sepasang sahabat yang sedang berkeliling dunia dengan berjalan kaki. Mereka selalu seirama, memasuki pedalaman hutan, melewati lembah, mendaki gunung dan melewati gurun pasir yang luas. Sepanjang perjalanan, banyak cerita menyenangkan dan menyedihkan, seringkali mereka bercanda, namun tak jarang mereka bertengkar.
Salah satu di antaranya bertugas membaca peta, menentukan jalan mana yang harus diambil sehingga mereka tidak tersesat. Suatu hari, entah karena kehilangan konsentrasi atau sedang melamun, ia salah membaca peta, maka tersesatlah mereka. Seharusnya mereka sudah tiba di sebuah desa, tidur menumpang di rumah penduduk dan menikmati kehangatan, akhirnya mereka harus bermalam di dalam hutan dan berjaga kalau-kalau ada hewan buas yang mengancam nyawa mereka. Mereka sangat kedinginan, dan kelaparan.
Esok harinya, sahabatnya yang marah enggan mengajaknya berbicara. Iapun melampiaskan amarahnya pada sebuah batu. Dituliskannya kesalahan si pembaca peta karena telah membuat keduanya tersesat. Iapun akhirnya meminta peta tersebut, dan memutuskan menjadi penunjuk jalan.
Hari sudah hampir larut malam, tak jua mereka menemukan rumah penduduk. Mereka justru terdampar d gurun pasir. Di depan mereka hamparan pasir luas seperti tak berbatas. Ia tetap ngotot untuk menyeberangi lautan pasir tersebut. Dengan langkah berat, sahabatnya mengikuti, dan ternyata mereka tersesat lagi.
Tentu saja sahabat yang awalnya menjadi penunjuk jalan itu balas marah. Saat tersesat di hutan, mereka masih enak bisa tidur di atas pohon dan memakan buah-buahan liar. Tetapi, di gurun, bagaimana mereka bisa makan sesuatu? Mereka semakin kelaparan.
Keesokan harinya, ia melampiaskan amarahnya di atas pasir. Dituliskannya besar-besar kemarahan yang ia rasakan. Heran dengan yang dilakukan sahabatnya, bertanyalah sahabat yang lain. "Aku kemarin juga melampiaskan kemarahanku, kutulis besar-besar di batu. Tapi mengapa kau malah melampiaskan amarahmu di pasir?" tanyanya penuh keheranan.
Masih dengan wajah marahnya, ia menoleh dan menjawab. "Tentu saja aku menulisnya di pasir. Aku tak mau semua orang membacanya kelak. Aku berharap amarah itu akan hilang tertiup angin, dan tidak tersimpan lama di sana," katanya tegas.
Terharu, dipeluknya sahabat yang sedang marah itu erat-erat. "Maafkan aku, sahabat. "
Hendaknya, sebuah kemarahan itu memang tidak disimpan di dalam hati. Jangan diukir dan dikoar-koarkan sehingga semua orang tahu. Jangan pula dibiarkan menjadi prasasti yang akhirnya akan berbuah dendam.
Lebih baik, amarah ditulis di atas pasir. Dan berdoalah agar amarahmu ikut pergi saat angin bertiup nanti.
Sumber : http://www.vemale.com/inspiring/lentera/20264-ukirlah-kesalahan-di-atas-pasir.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment = Menghargai Penulis